Pada tanggal 27 Juni 2025, Pemerintah Jepang secara resmi melaksanakan eksekusi mati terhadap Takahiro Shiraishi, pria yang dijuluki “Pembunuh Twitter” karena menggunakan media sosial untuk menjebak para korbannya. Shiraishi sebelumnya dinyatakan bersalah atas pembunuhan sembilan orang, termasuk perempuan muda dan remaja, dalam serangkaian kasus mengerikan yang mengguncang masyarakat Jepang pada tahun 2017.
Eksekusi ini menjadi yang pertama dilakukan di Jepang dalam hampir tiga tahun terakhir, menandai kembalinya penerapan hukuman mati di tengah sorotan tajam komunitas internasional. Amnesty International segera mengecam keputusan tersebut, menyebutnya sebagai kemunduran besar bagi perlindungan hak asasi manusia di negara tersebut.
Lembaga HAM internasional itu menyerukan pemerintah Jepang untuk segera memberlakukan moratorium eksekusi, serta memulai langkah konkret menuju penghapusan hukuman mati secara permanen. Mereka menilai bahwa sistem hukuman mati di Jepang tidak transparan dan kerap dilakukan tanpa pemberitahuan awal, baik kepada keluarga terdakwa maupun publik.
Di sisi lain, sebagian masyarakat Jepang menyambut eksekusi ini sebagai bentuk keadilan bagi para korban dan keluarganya. Namun, perdebatan tentang etika, efektivitas, dan keadilan hukuman mati kembali mencuat, mencerminkan ketegangan antara rasa keadilan publik dan komitmen terhadap hak asasi manusia.
Peristiwa ini sekali lagi menempatkan Jepang di tengah pusaran kritik internasional, dengan tuntutan untuk mereformasi sistem peradilan pidana yang masih mempertahankan praktik hukuman mati di era modern ini.