Sebuah momentum bersejarah tercipta di kawasan Afrika Tengah saat Republik Demokratik Kongo (DR Kongo) dan Rwanda secara resmi menandatangani perjanjian damai yang telah lama dinantikan. Kesepakatan ini menjadi titik balik penting dalam hubungan dua negara bertetangga yang selama bertahun-tahun diwarnai konflik bersenjata, ketegangan diplomatik, dan saling tuding atas dukungan terhadap kelompok pemberontak di perbatasan.
Penandatanganan ini disambut hangat oleh Sekretaris Jenderal PBB, yang menyebutnya sebagai “langkah besar menuju stabilitas regional dan masa depan yang lebih damai bagi jutaan warga.” Dalam pernyataannya, PBB menegaskan komitmennya untuk mendukung implementasi perjanjian ini, termasuk pemantauan keamanan, rekonsiliasi komunitas, serta bantuan kemanusiaan di wilayah terdampak konflik.
Perjanjian ini mencakup komitmen kedua negara untuk:
-
Menghentikan dukungan terhadap kelompok bersenjata lintas batas,
-
Membuka kembali jalur perdagangan resmi,
-
Memperkuat kerja sama keamanan dan pengawasan perbatasan, serta
-
Mendorong repatriasi pengungsi dan korban konflik secara aman.
Selama lebih dari dua dekade, konflik di wilayah timur Kongo telah menewaskan ratusan ribu orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi. Keterlibatan Rwanda secara tidak langsung dalam konflik melalui kelompok bersenjata seperti M23 menjadi salah satu sumber utama ketegangan. Oleh karena itu, kesepakatan ini dinilai sangat strategis dan krusial bagi perdamaian jangka panjang.
Masyarakat internasional, termasuk Uni Afrika dan negara-negara mitra seperti Prancis dan Amerika Serikat, juga menyatakan dukungan dan siap memberikan bantuan teknis untuk memastikan keberhasilan proses perdamaian ini.