JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, kemunculan perusahaan militer swasta (private military companies/PMCs) secara global telah mengaburkan batas antara kepentingan negara dan korporasi. Jika perhatian dunia selama ini tertuju pada perusahaan-perusahaan Barat seperti Blackwater atau Grup Wagner dari Rusia, maka kemunculan PMCs China yang cepat dan senyap di Afrika dan sebagian Asia nyaris luput dari sorotan.
Dengan embel-embel sebagai pelindung aset-aset Belt and Road Initiative (BRI) atau sekadar penyedia "logistik keamanan", PMCs China semakin terlibat dalam dinamika politik domestik negara-negara berkembang. Operasi mereka tidak netral; keberadaan mereka berjalan seiring dengan visi geopolitik Beijing.
Menurut Ratish Mehta, peneliti di Organisation for Research on China and Asia (ORCA), kehadiran PMCs China merupakan ancaman yang unik dan belum banyak diakui. Dia menyebut keberadaan mereka sebagai bentuk intervensi terselubung yang memperkuat pemerintahan otoriter, menekan perbedaan pendapat, dan membuat negara tuan rumah semakin bergantung pada negara China.
Dari Perlindungan ke Intervensi: Jangkauan Politik PMCs China
Mehta menyebut perusahaan seperti Frontier Services Group (FSG), DeWe Security, dan Haiwei Security kerap menyamarkan diri sebagai unit logistik atau perlindungan yang bertugas mengamankan proyek-proyek infrastruktur di wilayah rawan konflik. Namun dalam praktiknya, peran mereka sering kali melebar ke wilayah politik. Di Sudan Selatan misalnya, di mana perusahaan minyak milik negara China, CNPC, memiliki kepentingan besar, PMCs China menjalankan fungsi yang lebih dari sekadar penjaga pasif.
Ketika konflik kembali pecah pada 2018, kontraktor keamanan ini dikerahkan di sekitar ladang minyak dan bekerja sama erat dengan milisi yang berpihak pada pemerintah serta berbagi intelijen. Hal ini menjadikan mereka sebagai kekuatan pendukung salah satu faksi dalam perang sipil.
"Kehadiran mereka mengubah dinamika konflik, meningkatkan kapabilitas militer pemerintah, sekaligus melindungi kepentingan ekonomi China. Meski tak ada pengerahan militer resmi dari China, secara de facto mereka telah campur tangan melalui agen-agen kuasi-negara ini," kata Mehta, dikutip dari PML Daily, Minggu (22/6/2025).
Di Zimbabwe, perusahaan China yang beroperasi di ladang berlian Marange menyewa kontraktor keamanan yang bekerja sama dengan aparat keamanan setempat untuk membubarkan protes masyarakat. Lembaga pemantau HAM mendokumentasikan adanya pola pengawasan, intimidasi, dan penindasan terhadap aktivis buruh serta komunitas adat.
"Kegiatan ini melampaui sekadar keamanan infrastruktur; mereka menjadi perpanjangan tangan koersif dari negara, membantu rezim mengekang perbedaan pendapat warga," ujar Mehta.
Hal serupa terjadi di Kenya, di mana perusahaan teknologi pengawasan asal China—yang memiliki koneksi dengan jaringan PMC—diduga menyediakan alat pemantauan real-time kepada kepolisian di wilayah perkotaan. Teknologi dan dukungan operasional ini digunakan untuk menindak gerakan protes dan oposisi politik di kota, sehingga menimbulkan pertanyaan serius soal kedaulatan, pengawasan, dan intervensi asing yang dibungkus kemitraan infrastruktur.
Dalam semua kasus ini, PMCs China tidak beroperasi sebagai entitas komersial netral, melainkan sebagai fasilitator kontrol politik domestik yang berpihak pada elite penguasa dan mendukung agenda strategis Beijing.
Logika Strategis Ekspor Otoritarianisme
Bahaya utama PMCs China terletak pada ambiguitas strategis mereka. Meski secara resmi bersifat "swasta", mereka memiliki hubungan erat dengan badan usaha milik negara China bahkan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), baik melalui jaringan personel maupun program pelatihan. Ini memungkinkan Beijing memproyeksikan kekuatan tanpa akuntabilitas, sambil mempertahankan fiksi diplomatik bahwa mereka tidak ikut campur.
PMCs ini juga memperdalam ketergantungan. Ketika negara-negara berkembang mulai bergantung pada kontraktor China untuk kebutuhan ekonomi dan keamanan, kedaulatan mereka terkikis secara perlahan. Dengan PMCs bertindak sebagai penjaga investasi dan norma keamanan China, pemerintah lokal menjadi semakin enggan—dan tidak mampu—menolak kecenderungan otoriter.
Mereka menerima infrastruktur siap pakai: sistem pengawasan, pemolisian, pengumpulan intelijen, dan kontrol sosial—semua tanpa pengawasan dan regulasi sebagaimana diberlakukan pada aparat keamanan negara.
Secara paralel, China menggunakan perusahaan-perusahaan ini untuk mengekspor model pemerintahan yang lebih mementingkan stabilitas rezim ketimbang akuntabilitas demokratis. PMCs memperkuat norma bahwa keamanan didahulukan, hak-hak menyusul.
"Model ini meredam perlawanan politik, menekan masyarakat sipil, dan membantu menggeser posisi politik pemerintah tuan rumah agar selaras dengan cara pandang Beijing," ujar Mehta.
Model PMC juga memberikan celah untuk menyangkal. Jika timbul kontroversi, pejabat China bisa membantah keterlibatan dan mengklaim bahwa tindakan tersebut murni dilakukan oleh aktor swasta. Ini menjadikan PMCs alat ideal dalam apa yang dikenal sebagai grey-zone warfare—intervensi non-militer yang mempengaruhi hasil politik tanpa menanggung biaya diplomatik konvensional.
Kehadiran PMCs China di berbagai wilayah Afrika dan Asia harus memaksa kita untuk memikirkan ulang definisi intervensi pada era modern. Jika PMCs Barat selama ini diawasi ketat atas pelanggaran mereka, PMCs China justru luput dari pengamatan. Aktivitas mereka layak mendapat perhatian serius, bukan hanya karena risiko pelanggaran HAM, tapi juga karena mereka mewakili bentuk geopolitik tersembunyi yang berbahaya.
Menurut Mehta, Beijing tidak semata-mata melindungi aset ekonominya; mereka sedang mengamankan pengaruh, membentuk sistem politik, dan menyusup ke dalam struktur keamanan negara-negara lain.
Bagi negara-negara berkembang, tantangannya besar. Menerima keberadaan PMCs China, kata Mehta, mungkin memberikan stabilitas dan keuntungan ekonomi jangka pendek, namun dengan risiko mengorbankan otonomi politik dan kebebasan sipil.
"Tanpa kerangka regulasi yang kuat, transparansi, dan tekanan internasional, perusahaan-perusahaan ini akan terus beroperasi dalam bayang-bayang hukum, mengubah dinamika internal negara rapuh demi kepentingan strategis asing," pungkas Mehta.