PACMANNEWS.COM
Amerika Serikat telah memberikan kritik tajam terhadap kebijakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diterapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), laporan tersebut mengungkapkan keprihatinan mengenai kurangnya keterlibatan pelaku usaha internasional, khususnya dari AS dalam proses penyusunan kebijakan QRIS.
USTR menulis dalam laporannya bahwa perusahaan-perusahaan AS merasa terpinggirkan karena tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai perubahan kebijakan ini serta tidak mendapat kesempatan untuk memberikan masukan. Perusahaan-perusahaan AS ini merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan sistem tersebut dan bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang telah diberlakukan.
Kebijakan QRIS yang diatur dalam Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019 bertujuan untuk menyatukan berbagai layanan pembayaran QR di Indonesia untuk efisiensi.
Namun, USTR menilai bahwa sistem QRIS tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional yang ada. Akibatnya, hal ini dinilai dapat menghambat pelaku usaha asing dalam berpartisipasi di pasar Indonesia.
Selain kritik terhadap QRIS, USTR juga menyoroti pembatasan kepemilikan asing dalam sektor jasa keuangan yang semakin ketat. Misalnya, kepemilikan asing dalam perusahaan pelaporan kredit dibatasi maksimal 49 persen.
Di sisi lain, untuk perusahaan jasa pembayaran non-bank, kepemilikan asing dibolehkan hingga 85 persen, tetapi hak suara hanya dibatasi sampai 49 persen. Selain itu, untuk perusahaan infrastruktur sistem pembayaran, kepemilikan asing dibatasi hanya hingga 20 persen.
Kebijakan ini dianggap membatasi daya saing investor asing yang ingin beroperasi di Indonesia. Banyak perusahaan asing menghadapi kendala dalam berinvestasi di sektor ini, yang berdampak pada pengembangan layanan keuangan dan teknologi di Indonesia.
Kebijakan lain yang menjadi perhatian adalah regulasi National Payment Gateway (GPN). USTR mengritik kewajiban bagi seluruh transaksi kartu debit dan kredit domestik untuk diproses melalui GPN sebagai lembaga switching yang berlisensi dari BI.
Perusahaan asing yang ingin terlibat dalam sistem ini diwajibkan menjalin kemitraan dengan perusahaan lokal serta diharuskan mendukung pengembangan industri dalam negeri.
Kebijakan ini dinilai mempersempit kemampuan perusahaan asing untuk berkompetisi di pasar domestik, serta membatasi penggunaan layanan pembayaran internasional.
Sejak pemberlakuan kebijakan baru yang mengharus transaksi kartu kredit pemerintah juga menggunakan sistem GPN pada tahun 2023, perusahaan asing menjadi khawatir apabila hal ini akan semakin memperkecil penggunaan layanan pembayaran elektronik dari negara mereka.
Menyusul kritik yang diajukan, pemerintah AS berharap agar Indonesia dan BI lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku industri internasional. UTSR melaporkan bahwa pelaku industri menilai BI cenderung tidak melakukan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan, baik di dalam maupun luar negeri dalam mengeluarkan regulasi. Kritik tersebut menjadi sorotan utama. Hal ini dianggap vital untuk menciptakan sistem pembayaran yang lebih terintegrasi dan kompetitif secara global.