Kiara: Tambang Nikel Ancam Nelayan dan Lingkungan Pesisir

21 Jun 2025 | Penulis: mellanynews

Kiara: Tambang Nikel Ancam Nelayan dan Lingkungan Pesisir

Jakarta - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengungkapkan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia mayoritas mengandung nikel. Kondisi ini membuat kawasan tersebut rentan dieksploitasi oleh industri ekstraktif, seiring dengan kebijakan pemerintah yang menjadikan hilirisasi nikel sebagai program prioritas.

Susan merujuk data U.S. Geological Survey (2025) yang menunjukkan bahwa total produksi nikel Indonesia dari 2019 hingga 2024 mencapai sekitar 8,38 juta ton. Bahkan, sejak 2022 hingga 2024, Indonesia menyumbang 50 persen dari produksi nikel dunia. “Namun, aktivitas di tambang nikel ini tidak mengedepankan perlindungan bagi nelayan tradisional dan keberlanjutan ekosistem pesisir,” ujar Susan dalam keterangan tertulis, Jumat, 20 Juni 2025.

Susan menegaskan bahwa ekspansi tambang nikel di wilayah pesisir kerap memicu pencemaran sungai, perubahan warna laut, menurunnya hasil tangkapan nelayan, hingga hilangnya akses masyarakat terhadap ruang hidup mereka. Ia juga mencatat adanya kriminalisasi terhadap warga yang menolak kehadiran perusahaan tambang.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara tegas melarang pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 35 huruf (k).

Namun, implementasi aturan ini dinilai masih lemah. “Larangan itu kerap diterabas. Salah satunya terlihat dari aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara,” ujar Susan.

Selain itu, laporan Nexus3 Foundation mencatat dampak negatif pertambangan dan industri nikel di Teluk Weda, Maluku Utara. Sedimen sungai Ake Jira dan Ake Sagea diklasifikasikan sebagai tercemar berat, dengan kadar kromium yang berpotensi mengancam kehidupan akuatik. Ikan-ikan di wilayah tersebut bahkan ditemukan mengandung arsenik dan merkuri, di mana kadar arsenik meningkat hingga 20 kali lipat dibandingkan tahun 2007.

“Temuan itu seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah terhadap izin usaha pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Sebab yang menjadi korban adalah masyarakat lokal serta flora dan fauna di sekitarnya,” kata Susan.


Komentar