Belum genap sebulan setelah kasus penolakan penanganan pasien oleh Rumah Sakit (RS) di Jawa Timur mengemuka, kini muncul lagi kejadian serupa di Kepulauan Riau (Kepri). Alasannya tak jauh berbeda, yakni kondisi pasien “tidak dianggap gawat darurat”.
Lewat unggahan Facebook, warga membagikan informasi kalau seorang anak berusia 12 tahun, AOK, meninggal dunia pada Minggu (15/6/2025) dini hari, setelah diduga ditolak akses layanan rawat inapnya oleh RSUD Embung Fatimah, Batam, Kepri.
AOK, yang mengalami sesak napas saat itu, sempat mendapatkan penanganan awal di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RS tersebut. Pihak RSUD Embung Fatimah menjelaskan, pasien telah dilayani sesuai prosedur di IGD.
“Saat itu juga langsung kami layani di IGD sesuai keluhan, dua jam sebelumnya terlihat sesak di rumah. Akhirnya kami kasih bantuan oksigen, pemeriksaan respirasi, nadi ulang, laboratorium, dan pemeriksaan kadar oksigen,” ujar Direktur RSUD Embung Fatimah, Sri Widjayanti Suryandari, seperti dilaporkan Kompas, Selasa (17/6/2025).
Sri bilang, kondisi AOK saat tiba di rumah sakit tergolong stabil dan tidak memenuhi kriteria gawat darurat, sehingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) tidak bisa digunakan. Ia memastikan, pasien telah diobservasi selama hampir empat jam sebelum akhirnya diperbolehkan pulang dengan rekomendasi rawat jalan.
“Jadi, kami sudah melayani, bukan tidak melayani seperti yang disebarkan,” tegas Sri.
Indikator soal gawat darurat ini memang kerap jadi masalah di lapangan dan memunculkan perdebatan. Merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/1186/2022, ada sebanyak 144 penyakit yang masuk dalam kompetensi wajib bagi dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), salah satunya puskesmas.
Beberapa penyakit itu di antaranya alergi makanan, anemia defisiensi besi, bronkitis akut, buta senja, demam dengue, gastritis, influenza, dan insomnia. Pendek kata, masyarakat yang mengidap 144 penyakit itu diutamakan untuk dilayani di FKTP dan baru akan dirujuk ke RS jika memerlukan tindakan lanjutan “berdasarkan evaluasi medis”.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat (Rokomyanmas) Kemenkes, Aji Muhawarman, menjelaskan kalau kegawatdaruratan medis adalah kondisi keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitas/kecacatan.
Disabilitas yang dimaksud bisa berupa gangguan pada jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, penurunan kesadaran, gangguan hemodinamik, dan atau kondisi lainnya yang memerlukan tindakan segera.
“Harus dipastikan dulu kasusnya seperti apa,” ucap Aji ketika dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (19/6/2025). Ia menyatakan, penilaian kondisi gawat darurat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
Persoalan Sistemik dari Interpretasi hingga Komunikasi
Meski aturan ini mencoba memaksimalkan fungsi FKTP, kesehatan masyarakat, utamanya anak-anak, tak seharusnya menjadi kambing hitam. Ini jelas merupakan tragedi kemanusiaan, apalagi tak hanya terjadi sekali.
Pengamat kebijakan kesehatan sekaligus peneliti Griffith University, Dicky Budiman, menyebut kejadian di Kepri ini sebagai cerminan dari masalah sistemik yang berakar pada banyak faktor. Hal yang paling mendasari adalah terkait interpretasi terhadap kriteria gawat darurat.
“Dan ini artinya ada subjektivitas yang terjadi, padahal tidak. Seharusnya tidak boleh terjadi subjektivitas itu. Dan pasien datang ke IGD dengan sesak nafas misalnya, tapi dinilai tidak gawat darurat, ini mengindikasikan adanya variabilitas dalam penilaian medis, terutama dalam situasi yang borderline, yang di batas,” ujar Dicky kepada Tirto, Kamis (19/6/2025).
Di sisi lain, menurutnya, pihak RS juga ketakutan akan klaim tidak dibayar, di mana hal ini terjadi ketika pasien rawat inap tidak memenuhi kriteria administratif. Dalam konteks ini yakni status gawat darurat BPJS.
“Nah ini yang juga akan mempengaruhi keputusan dokter. Kemudian hal lain yang juga melatari adalah insentif finansial dan tekanan administratif di rumah sakit. Jadi, beberapa rumah sakit itu, salah satunya pemerintah ya, menghadapi tekanan efisiensi karena tarif INA CBG (sistem pembayaran yang digunakan dalam program JKN) rawat inap yang terbatas. Apalagi kalau bicara rumah sakit swasta,” lanjutnya.
Hal-hal itulah yang disebut Dicky berpotensi mendorong praktik defensive admission. Artinya, pasien hanya akan dirawat jika sudah jelas akan dibayar oleh BPJS.
“Nah, oleh karena itu, pasien yang dalam kondisi borderline, jadi tidak kritis tapi berpotensi memburuk, itu cenderung lebih sering atau lebih mudah dipulangkan untuk menghindari potensi klaim ditolak,” ujar Dicky, yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.