Jakarta - Salah satu gugusan di Kepulauan Seribu, Pulau Pari kini menjadi sorotan serius akibat aktivitas PT Central Pondok Sejahtera (CPS) yang diduga merusak ekosistem mangrove dan pesisir di wilayah tersebut. Penggunaan ekskavator untuk mengeruk pasir di perairan dangkal Pulau Pari menimbulkan kekhawatiran masyarakat setempat karena berpotensi merusak padang lamun, mangrove, dan terumbu karang yang ada di kawasan gugus lempeng tersebut.
Reklamasi dan Kerusakan Lingkungan
PT CPS mendapatkan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang kini menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi, untuk membangun fasilitas pariwisata berupa villa terapung di lahan seluas 180 hektare di sekitar Pulau Pari.
Namun, sejak November 2024, warga setempat menolak aktivitas PT CPS karena melakukan pengerukan, reklamasi, dan kerusakan lingkungan, terutama pada tanaman mangrove. Warga khawatir kegiatan tersebut akan merusak ekosistem pesisir, termasuk padang lamun, mangrove, dan terumbu karang di perairan gugus lempeng Pulau Pari.
Gugatan Warga Pulau Pari ke PTUN
Merespons kerusakan ini, warga Pulau Pari mengajukan gugatan lingkungan hidup ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas salah satu PKKPRL yang diterbitkan pemerintah. Mereka khawatir proyek pariwisata yang dijalankan perusahaan berdasarkan izin tersebut akan merusak ekosistem pesisir Pulau Pari.
Kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Khaerul Anwar, menjelaskan bahwa gugatan ini bertujuan membatalkan PKKPRL yang dimaksud.
“Gugatan ini kami daftarkan sebagai upaya perlawanan warga Pulau Pari untuk membatalkan sebuah KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara) berupa PKKPRL yang diterbitkan oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi di Gugus Lempeng, Pulau Pari, Kepulauan Seribu,” tuturnya dalam rilis pers, Jumat, 13 Juni 2025.
Atik Sukamti, warga Pulau Pari yang ikut menggugat, menyatakan bahwa PKKPRL tersebut akan memberatkan masyarakat setempat, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Ia menegaskan bahwa mangrove sangat penting untuk menahan gelombang laut agar abrasi di pesisir tidak semakin parah.
Polemik Reklamasi dari PT CPS
Sebelumnya, aktivitas PT CPS di Pulau Pari mendapatkan penolakan besar dari masyarakat setempat. Masyarakat sekitar dikejutkan oleh penemuan tanaman mangrove yang rusak akibat proyek pembangunan pondok wisata oleh perusahaan swasta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menemukan indikasi kerusakan mangrove dan reklamasi ilegal dalam proyek ini. Staf Khusus Menteri, Doni Ismanto Darwin, menjelaskan bahwa temuan ini berasal dari peninjauan lapangan oleh Tim Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (Ditjen PKRL) KKP.
Sejak November 2024, warga Pulau Pari telah mengeluhkan kerusakan mangrove dan penimbunan pantai. Mereka bahkan menghadang alat berat yang digunakan perusahaan untuk menggusur mangrove. PT CPS, yang membangun pondok wisata di Pulau Biawak, dilaporkan telah merusak ribuan pohon mangrove. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyatakan bahwa PT CPS terindikasi melakukan reklamasi tanpa izin di area yang seharusnya digunakan untuk pembangunan cottage apung dan dermaga wisata.
Hasil peninjauan KKP menunjukkan adanya pengerukan menggunakan alat berat di Pulau Pari, yang diduga dilakukan oleh PT CPS di dalam area KKPRL. Trenggono juga menegaskan bahwa kegiatan pembangunan pondok wisata oleh PT CPS melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang mewajibkan izin untuk setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut yang berlangsung lebih dari 30 hari.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menyegel aktivitas pembangunan di Pulau Biawak setelah menerima laporan mengenai pembabatan puluhan ribu pohon mangrove. Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan KLH, Rizal Irawan, menyatakan bahwa pihaknya akan menyelidiki lebih lanjut setelah mendapatkan laporan dari warga tentang kerusakan terumbu karang dan padang lamun.
Tidak hanya itu, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq bersama Rizal Irawan dan Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan sebelumnya bertemu dengan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut, warga melaporkan bahwa aktivitas PT CPS pada 17 Januari lalu telah merusak 40 ribu pohon mangrove yang ditanam oleh masyarakat dan pengunjung Pulau Pari, serta menghancurkan 62 meter persegi ekosistem terumbu karang dan padang lamun.
Suara Keluhan Warga Pulau Pari
Selain itu, Atik juga menolak pembangunan penginapan terapung yang tengah dikerjakan oleh PT CPS di Pulau Pari.
“Apabila jadi dibangun juga di wilayah tersebut villa terapung, maka perekonomian warga akan terganggu akibat penginapan yang dimiliki oleh warga sekitar akan bersaing dengan villa terapung,” kata Atik.
Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan bahwa area yang direncanakan untuk pembangunan desa terapung dan dermaga pariwisata adalah wilayah yang dikelola secara bersama oleh masyarakat Pulau Pari.
“Kegiatan pembangunan cottage apung dan dermaga pariwisata dengan cara reklamasi jelas dilarang karena akan merusak terumbu karang serta mangrove,” kata Susan.
Kuasa hukum dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Ahmad Syahroni, menyatakan bahwa penerbitan PKKPRL ini telah secara langsung merugikan masyarakat Pulau Pari. “Faktanya, pada saat aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh PT CPS, banyak warga khususnya nelayan yang kehilangan ruang tangkap,” tuturnya.