Alasan Mendag Tak Terapkan BMAD untuk Bahan Baku Tekstil Asal Cina

21 Jun 2025 | Penulis: adrianajurnal

Alasan Mendag Tak Terapkan BMAD untuk Bahan Baku Tekstil Asal Cina

Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso membeberkan alasan tak menindaklanjuti rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengenai pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal Cina.

Mendag menyebutkan keputusan tersebut telah mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.

"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas," kata Budi Santoso melalui keterangan resmi di Jakarta, pada Kamis, 19 Juni 2025,

Saat ini, menurut Budi, kapasitas produksi nasional atas produk benang filamen sintetis belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Apalagi sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu masih memproduksi untuk memenuhi kebutuhan pemakaian sendiri.

Selain itu, pemerintah menilai sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies. Salah satunya adalah Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023.

Selain itu, juga diterapkan BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, Cina , dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022. Oleh sebab itu, kata Budi, jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir.

Padahal, menurut dia, sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri.

Lebih jauh, Mendag juga menyoroti kontribusi industri TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun 1,1 persen pada 2024 dari 1,3 persen pada 2019. Hal ini utamanya karena dampak pandemi Covid-19.

Keputusan tak diterapkannya BMAD atas produk benang filamen sintetis tertentu asal Cina itu juga merupakan hasil dari koordinasi lintas kementerian. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Perindustrian sebelumnya memberikan masukan agar pengenaan BMAD ditinjau kembali. Selain itu, Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan perwakilan industri terdampak juga turut menyampaikan pandangan yang menjadi pertimbangan keputusan ini.

Duduk Perkara Usulan BMAD Bahan Baku Tekstil dari Cina

 

Komite Anti Dumping Indonesia atau KADI sebelumnya menyelidiki dugaan praktik dumping benang filamen impor Cina per 12 September 2023. Penyelidikan ini dilakukan menindaklanjuti permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk. dan PT Indorama Synthetics Tbk.

Adapun produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu dengan klasifikasi HS 5402.33.10; 5402.33.90; 5402.46.10; dan 5402.46.90 dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022. Produk ini terdiri atas dua jenis yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY).

Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta pada pekan lalu menyatakan BMAD perlu diterapkan terhadap bahan baku tekstil dari Cina agar memperkuat daya saing industri tekstil nasional. Sebab, banjir impor produk itu telah menggerus daya saing dan kapasitas produksi industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir.

Dari hitungan asosiasi, BMAD sebesar 20 persen cukup ideal untuk memulihkan industri hulu tanpa membebani sektor hilir secara berlebihan. Angka tersebut lebih rendah dari batas atas dari yang sebelumnya menjadi rekomendasi awal KADI sebesar 42,3 persen. 

Redma memaparkan praktik dumping benang filamen yang terjadi saat ini telah memicu efek domino pada industri tekstil, menurunkan permintaan benang pintal akibat pasar domestik terserap produk impor yang merugikan produsen dalam negeri.

"Benang filamen impor ini menyerap pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul, dan karena mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya," tutur Redma dalam keterangan tertulis pada Jumat, 13 Juni 2025.

Ia lantas mencontohkan sejumlah perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF menutup lini produksi polimer akibat permintaan anjlok, menyisakan empat produsen aktif yang kini beroperasi dalam kondisi sangat terbatas.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal. Ia menilai penetapan tarif BMAD minimal 20 persen merupakan langkah logis dan relevan menghadapi kerusakan struktural industri akibat praktik dumping. 

"Angka 20 persen itu secara kasar masih masuk akal, dan itu pun batas minimal. Bahkan bisa saja lebih tinggi, tergantung pada tingkat injury yang dialami industri kita," kata Faisal.

Menurut dia, kebijakan antidumping penting untuk menjaga industri nasional tetap hidup di tengah persaingan global yang semakin tidak sehat. "Kalau harga impor dari Cina bisa setengahnya harga lokal, maka dengan BMAD 20 persen pun, produk dalam negeri tetap akan terlihat lebih mahal. Ini yang perlu dihitung serius oleh." 


Komentar