PACMANNEWS.COM, Jakarta - Selain mengapresiasi, keputusan Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengembalikan empat pulau ke Aceh, Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haytar, juga mengucapkan terima kasih kepada Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, Jusuf Kalla atas bantuannya memberikan masukan terhadap sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
"Saya juga ucapkan terima kasih kepada Bapak Jusuf Kalla yang telah banyak membantu memberi masukan hingga persoalan ini tuntas,” ujarnya, di Banda Aceh, Rabu, 18 Juni 2025 dilansir dari Antara.
Adapun, setelah Presiden Prabowo mengembalikan empat pulau yang disengketakan dengan Sumatera Utara ke Aceh, Tgk Malik mengunjungi rumah pribadi JK di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 17 Juni 2025.
Sejarah Wali Nanggroe Aceh
Dilansir dari laman jdih.bpk.go.id, Lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga kepemimpinan adat yang dirancang sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya Aceh. Adapun, lembaga ini lebih mengarah pada lembaga adat dibandingkan lembaga pemerintah dan politik.
Dalam catatan sejarahnya, Wali Nanggroe di Aceh sebenarnya telah ada sejak perang melawan Belanda, sebagai pemersatu masyarakat Aceh untuk kepentingan mengusir penjajah dari Bumi Serambi Mekkah. Keberadaannya dikenal sejak Januari 1874, dipimpin oleh Tgk Chik Di Tiro, Wali Nanggroe pertama. Perang yang terus bergulir di Aceh kemudian melahirkan beberapa Wali Nanggroe sebagai pemersatu, sampai kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Lembaga Wali Nanggroe tidak dikenal lagi sejak saat itu
Lembaga adat ini kemudian kembali dibentuk berdasarkan hasil perjanjian damai antara gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan penerjemahan dari pencapaian kesepakatan damai GAM dan Pemerintah RI dalam ‘Memorandum of Understanding Hensinki’ (MoU Helsinki) pada 15 Agustus 2005, di Helsinki Finlandia
Di dalam UUPA, Pembentukan Lembaga Wali Nanggroe tercantum pada Bab XII, Pasal 96 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraa kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara upacara adat lainnya.
Lebih lanjut, pada 2007 Wali Nanggroe ditempatkan sebagai sebuah lembaga adat dan pada 2010 Wali Nanggroe ditempatkan sebagai sebuah lembaga politik, namun hal ini ditolak oleh banyak pihak, dikarenakan rancangan qanun 2010 lebih dekat pada bentuk pemerintahan monarki sedangkan masyarakat lebih mengedepankan sistem demokrasi yang dianggap lebih bisa menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, penolakan juga dikarenakan masyarakat Aceh tidak ingin lembaga yang di anggap mulia lari dari tujuan awal terbentuknya
Adapun, tujuan awal pembentukan Lembaga Wali Nanggroe adalah mempersatukan rakyat Aceh, meninggikan dinul Islam, mewujudkan kemakmuran rakyat, menegakan keadilan, dan menjaga perdamaian, menjaga kehormatan, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh, dan mewujudkan pemerintahan rakyat Aceh yang sejahtera dan bermartabat.
Sejak didirikan pada 2012, Lembaga Wali Nanggroe, kendati urgensinya masih dipertanyakan. Lembaga Wali Nanggroe menjadi perbincangan diskusi karena lembaga ini adalah salah satu organisasi tertua di Provinsi Aceh, dan fungsi utamanya adalah menjaga perdamaian.
Hingga saat ini, sudah ada sembilan Wali Nanggroe Aceh. Sejak Wali Nanggroe kedelapan, Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggal dunia, maka Waliyul’ahdi Teungku Malik Mahmud Al Haytar ditetapkan sebagai Wali Nanggroe kesembilan. Pengukuhan pertama dilakukan dalam Rapat Paripurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 16 Desember 2013. Sementara pengukuhan kedua dilakukan pada 14 Desember 2018.