Jakarta, Pacman News – Kasus kematian Suchir Balaji, mantan peneliti OpenAI yang juga dikenal sebagai whistleblower, semakin menjadi misteri. Pada November 2024, pria berusia 26 tahun itu ditemukan tewas di apartemennya di San Francisco, dengan luka tembak yang diduga berasal dari senjatanya sendiri.
Polisi setempat menyatakan bahwa kematiannya merupakan kasus bunuh diri, berdasarkan hasil autopsi. Namun, keluarga Balaji, terutama ibunya, Poornima Rao, meyakini bahwa ada konspirasi besar di balik kejadian ini.
Mereka menduga bahwa kematian Suchir terkait erat dengan perannya dalam membongkar rahasia industri AI, terutama terkait kebijakan OpenAI dalam pengelolaan teknologi canggihnya.
Sinyal Bahaya Sejak Tahun Lalu
Dalam wawancara dengan Brian Entin dari News Nation, keluarga Balaji mengungkapkan bahwa mereka pertama kali merasa adanya ancaman terhadap anak mereka setelah ia muncul dalam artikel New York Times tahun lalu. Dalam artikel tersebut, Suchir secara terbuka mengkritik kebijakan hak cipta OpenAI, yang menurutnya memiliki banyak kejanggalan.
Poornima mengaku merasakan firasat buruk begitu melihat artikel itu terbit. “Saat saya membaca artikel tersebut, saya tahu ada sesuatu yang salah. Sebagai seorang ibu, saya bisa merasakan bahaya,” ujarnya. Namun, setiap kali ia menghubungi anaknya, Suchir selalu menenangkan dirinya, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Dugaan bahwa ada yang tidak beres semakin kuat ketika diketahui bahwa Suchir sempat membeli senjata api satu tahun sebelum kematiannya. Ayahnya, Ramamurthy, menegaskan bahwa putranya membeli senjata bukan untuk bunuh diri, melainkan untuk melindungi dirinya dari ancaman yang dirasakan. Namun ironisnya, senjata tersebut justru digunakan dalam kematiannya.
Catatan Rahasia: Peringatan Tentang Masa Depan AI yang Suram
Setelah kematian Suchir, keluarganya menemukan jurnal pribadi yang ia tulis selama bekerja di OpenAI. Dalam catatan itu, ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak dari Artificial General Intelligence dan Artificial Superintelligence (ASI).
Suchir meramalkan bahwa jika teknologi AI terus berkembang tanpa regulasi yang jelas, manusia bisa kehilangan kendali sepenuhnya atas industri dan pekerjaan mereka. Ia bahkan menuliskan pertanyaan yang menggugah:
“Apa yang akan kita lakukan jika semua pekerjaan diambil oleh AI?”
Dalam jurnalnya, ia juga menyebut bahwa jika AI mencapai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari manusia, teknologi tersebut bisa diperlakukan seperti entitas ilahi yang memiliki kendali penuh atas kehidupan manusia. Peringatan ini mengingatkan pada skenario dystopian, di mana AI bukan lagi alat bantu, tetapi menjadi kekuatan yang tak terbendung dalam berbagai sektor kehidupan.
Poornima mengaku baru menyadari seberapa dalam kekhawatiran anaknya setelah membaca jurnal tersebut. “Dia menyimpan semuanya sendiri. Dari dulu dia selalu tertutup. Saya tidak tahu seberapa serius hal ini sampai sekarang,” katanya.
Keluarga Balaji Tuntut Penyelidikan Lebih Lanjut
Keluarga Balaji tidak menerima begitu saja kesimpulan polisi bahwa kematian Suchir adalah bunuh diri. Mereka yakin bahwa ada konspirasi besar di balik kematian anak mereka, terutama karena ia tengah membongkar rahasia industri AI yang bernilai triliunan rupiah.
Dalam wawancaranya, Poornima menyerukan kepada FBI dan Jaksa Agung AS untuk membuka kembali penyelidikan atas kematian anaknya. Menurutnya, ada banyak kejanggalan yang belum terungkap, dan ia yakin bahwa Suchir dibungkam karena berusaha mengungkap sesuatu yang penting tentang AI.
“Jika kami bisa berbicara dengan Direktur FBI atau Jaksa Agung, kami akan memberi tahu mereka bahwa ada konspirasi di balik kematian anak saya,” ujar Poornima. “Kematian anak saya terkait langsung dengan masa depan industri AI, yang bernilai miliaran dolar. Dia mencoba mengungkap sesuatu tentang keselamatan AI, sesuatu yang ilegal, dan itulah mengapa dia dibungkam.”