Makin Besar Peluang Korupsi Pengadaan

19 Jun 2025 | Penulis: Pacmannews

Makin Besar Peluang Korupsi Pengadaan

Pemerintah menerbitkan aturan yang memungkinkan pengadaan barang dan jasa melalui penunjukan langsung. Risiko korupsi membesar.

Ringkasan Berita

  • Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 membuka ruang bagi praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.

  • Ketentuan ini pada dasarnya memberikan diskresi yang terlalu besar kepada para pejabat negara tanpa pengawasan memadai.

  • Efektivitas tidak boleh dijadikan pembenar untuk menginjak-injak prinsip tata kelola yang sehat.

PEMERINTAH baru saja menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025. Sekilas, aturan ini tampak ditujukan untuk mempercepat pelaksanaan program prioritas. Tapi, jika dicermati lebih dalam, isinya justru membuka ruang luas bagi korupsi pengadaan barang dan jasa.

Salah satu pasal krusial dari aturan ini adalah Pasal 38 ayat 5 huruf a, yang memperbolehkan penunjukan langsung penyedia barang dan jasa untuk proyek prioritas pemerintah atau bantuan presiden. Artinya, instansi pemerintah bisa langsung menunjuk rekanan tanpa melalui proses lelang terbuka. Sebuah pintu besar dibuka bagi praktik yang tak transparan.

Kedua, Pasal 9 ayat 1 huruf f2 yang memberikan wewenang besar kepada para pengguna anggaran—pimpinan lembaga atau kepala daerah—untuk mengubah prosedur, metode, hingga bentuk kontrak pengadaan barang dan jasa dengan alasan yang sangat longgar: “mengisi kekosongan hukum” atau “menghindari stagnasi pemerintahan.” Ini menjadi karpet merah untuk penyimpangan.

Ketentuan ini pada dasarnya memberikan diskresi yang terlalu besar kepada para pejabat negara tanpa pengawasan memadai. Lebih buruk lagi, keduanya dirancang bukan untuk menghadapi keadaan darurat, melainkan menjalankan proyek-proyek pembangunan biasa seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029: penyediaan makan bergizi gratis, pembangunan rumah sakit dan sekolah unggulan, serta proyek pembangunan lain yang, betapapun pentingnya, tetap bukan situasi krisis.

Padahal, jika kita merujuk pada standar internasional, seperti UNCITRAL Model Law (2014), metode penunjukan langsung hanya diperbolehkan dalam situasi dengan derajat urgensi yang sangat ekstrem. Misalnya dalam keadaan bencana alam yang mengharuskan pemerintah segera menyediakan air bersih, obat-obatan, atau tempat tinggal bagi masyarakat yang terkena dampak. Atau untuk pengadaan suku cadang khusus yang hanya dapat disediakan oleh satu produsen tertentu.

Dalam konteks itu, proses kompetitif bisa dikesampingkan karena memang tidak relevan. Tapi untuk proyek pembangunan rumah sakit? Program makan gratis? Kunjungan presiden ke daerah? Itu bukan keadaan genting. Itu merupakan agenda rutin yang seharusnya tetap tunduk pada prinsip keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas.

Kita tahu bahwa pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu sektor paling rawan korupsi di Indonesia. Laporan United Nations Office on Drugs and Crime (2013) menyebutkan bahwa metode penunjukan langsung adalah mekanisme paling rentan terhadap praktik kolusi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa proses seleksi terbuka, sulit menghindari konflik kepentingan, apalagi jika pejabat yang menentukan juga punya kuasa mengatur ulang prosedur.

Lebih dari itu, hilangnya kompetisi membuat negara kehilangan kesempatan untuk mendapatkan harga terbaik dan kualitas terbaik dari pasar. Tidak ada penawaran alternatif, tidak ada evaluasi rasional terhadap penyedia yang paling efisien. Pemerintah jadi lebih mudah terjebak dalam kerja sama dengan kontraktor yang tidak layak atau bahkan fiktif.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kontrak pengadaan yang diberikan tanpa proses terbuka akan memunculkan kecurigaan, baik dari masyarakat sebagai pembayar pajak maupun dari lembaga pengawas, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sistem yang didesain untuk fleksibilitas malah menjadi ladang subur untuk korupsi terselubung.

Pemerintah memang kerap berdalih soal efektivitas. Apalagi dengan target ambisius pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Tapi efektivitas tidak boleh dijadikan pembenar untuk menginjak-injak prinsip tata kelola yang sehat. Jangan sampai logika “yang penting cepat selesai” justru menjerumuskan negara pada praktik pemerintahan yang tak terkendali dan penuh celah penyimpangan.

Dekel (2008), seorang pakar pengadaan internasional, secara tegas menyebutkan bahwa efektivitas bukanlah nilai utama dalam sistem pengadaan. Yang utama adalah integritas, yakni memastikan bahwa semua proses berjalan secara adil, bersih, dan bisa diaudit. Baru setelah itu berbicara soal efisiensi dan efektivitas.

Sayangnya, Perpres Nomor 46 Tahun 2025 justru menunjukkan sebaliknya. Norma-norma yang dibentuk menyiratkan bahwa tujuan pembangunan lebih penting daripada cara mencapainya. Bahkan jika itu berarti menabrak prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ini adalah bentuk nyata dari logika yang keliru: tujuan menghalalkan cara.

Padahal, dalam sistem pemerintahan yang sehat, prosedur bukanlah penghalang. Prosedur adalah pengaman, yang memastikan hasil pembangunan tidak hanya tercapai, tapi juga dilakukan dengan cara yang benar. Jika prosedur bisa diubah seenaknya oleh pejabat publik, hilanglah pagar itu. Yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa batas.

Kita pernah melihat bagaimana kebijakan serupa pada masa lalu menimbulkan bencana pembangunan. Dalam tulisan saya di Koran Tempo (30 Desember 2022), saya menyoroti bagaimana pemerintahan Presiden Joko Widodo menjalankan proyek-proyek strategis nasional dengan tergesa-gesa. Demi mengejar “prestasi pembangunan”, berbagai regulasi dipangkas dan dilonggarkan. Hasilnya? Banyak proyek yang terburu-buru, tidak tepat sasaran, bahkan menjadi “proyek gajah putih”.

Dampak dari praktik itu, beban keuangan negara pun membengkak. Laporan BPK (2021) dan kajian PA3KN Dewan Perwakilan Rakyat (2024) menunjukkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kini menanggung utang besar akibat proyek-proyek infrastruktur yang agresif. Banyak badan usaha milik negara terjerat utang raksasa untuk proyek yang tidak memberikan daya ungkit ekonomi yang berarti. Bahkan, menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2024) serta Institute for Demographic and Poverty Studies (2024), banyak pembangunan yang mengorbankan lingkungan dan merugikan masyarakat kecil.

Kini ada kekhawatiran bahwa pemerintahan Prabowo akan mengulang kesalahan yang sama: mengedepankan kecepatan, mengorbankan kehati-hatian, dan membuka celah korupsi. Jangan sampai semangat membangun justru menjadi pintu masuk bagi kerusakan baru.

Prabowo dan para pembantunya perlu diingatkan: efektivitas itu penting, tapi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Jangan biarkan warisan masalah dari pemerintahan sebelumnya makin menggunung hanya karena kegagapan membuat aturan yang benar. ā—


Komentar